Sejak Hamas memimpin Palestina sesuai hasil pemilu, kian hari embargo terhadap pemerintah dan rakyatnya mengalami eskalasi dan merambat ke seluruh masalah. Bermula dari kriris gaji pegawai, BBM hingga masalah makanan. Di tengah penderitaan itu ditambah aksi kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina, sebagian pihak berangkat dari niat baik atau tidak mengatakan, “kenapa Hamas tidak mengakui Israel saja sehingga penderitaan selesai??”
Di tengah situasi seperti ini, Hamas tanpak masih kukuh mempertahankan program-program politiknya dimana ia dipilih karenanya. Namun tanpaknya pada beberapa kesempatan Hamas menampakkan kelenturan politik seperti usulan gencatan jangka panjang dan menerima negara Palestina berdaulat penuh di perbatasan tahun 1967. ini merupakan perkembangan besar dalam sikap politik yang harus dicermati dengan baik. Namun pertanyaan besar tetap, kenapa Hamas tidak mengakui Israel? apalagi sekarang semua unsur Palestina mulai merasakan dampak dari sikap Hamas dan bukan saja Hamas sendirian.
Di sini timbul pertanyaan sebaliknya, andai Hamas mengakui Israel apakah krisis akan selesai dan embargo akan dicabut? Apakah tahanan akan bebas, perlintasan akan dicabut, penangkapan dan penyerangan dihentikan, permukiman Israel akan dibekukan? Ataukan kita akan kembali diminta Israel akan PLO mengakui Israel sebab akan terkesan ada perdamaian di kawasan. Dan ketika PLO mengakui Israel, negara zionis ini akan mengatakan “kami tetap ada, diakui Israel atau tidak”.
Ketika kesepakatan Oslo ditandangani rakyat Palestina diberi janji akan mengalami kemanjuan, Gaza akan seperti Singapura dan Tepi Barat akan menjadi Hongkong dan penderitaan usai, namun harus melakukan sejumlah tuntutan ringan!!
Tapi tuntutan demi tuntutan silih berganti tiada henti. Setiap Palestina memberikan kompromi, Israel selalu mengatakan, ini tidak cukup.
Perundingan demi perundingan ditandatangni tanpa hasil apa-apa karena memang sebenarnya ia mandul.
Anehnya ketika dua symbol rakyat Palestina, Syaikh Yasin dan Yaser Arafat di tahun 2002 ketika semua bangsa Arab sepakat mengakui Israel.
Ini semua terjadi ketika Hamas belum berada di pucuk pimpinan pemerintah Palestina.
Lantas apa yang diperoleh rakyat Palestina jika HAmas mengakui Israel??
Apakah rakyat Palestina siap selama 10 tahun ke depan melakukan perundingan tanpa hasil? Apakah kita siap berada pada giliran menerima pepesan kosong dan dibebani berbagai dikte dan tuntutan-tuntutan serta syarat? Kemudian semua itu digenangi dengan darah dan penderitaan.
Jadi “Israel” bukan sekedar mencari pengkuan namun bangsa Yahudi ini mengambil semuanya dari kita tanpa balasan apapun dari mereka. Bangsa zionis ingin kita menjadi menjaga keamanan dan kepentingan mereka. Jadi sebenarnya ketika Hamas menolak mengakui Israel sesungguhnya ia memang menjadikan penderitaan – dalam batas sedang dan jauh – meski penderitaan makin besar pada jangka dekat.
Hamas dengan penolakannya memotong jalan penderitaan lebih dekat bagi rakyat Palestina. Tanpaknya Hamas amat sadar akan sebuah pepatah “memeras keringat sebentar demi penderitaan bertahun-tahun untuk generasi mendatang”.
Singkatnya, kita dalam perang kemauan dan tekad. Perang antara orang yang mengandalkan logika kekuatan dan orang yang mengandalkan kekuaatan logika dan kebenaran yang didukung kekuatan apa adanya.
Rakyat Palestina sekarang dituntut untuk membalik perimbangan pemahanan-pemahaman. Sebab tidak adil jika dalam kasus kejahatan si korban mengakui hak pelaku kejahatan. Sebaliknya logikanya si pelaku kejahatan harus mengakui hak-hak korbannya. Dunia internasional juga harus paham bahasa ini.
Jadi ini adalah perang menggigit jari, sangat sakit memang. Namun aturan main dalam permainan ini adalah mereka yang terlebih dulu berteriak “aduh”. Lantas kita ingin menjadi yang mana?? Tanyakan dalam dirimu ??
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar